Pages - Menu

Rabu, 14 Maret 2012

ALIRAN UTAMA FILSAFAT PENDIDIKAN



ALIRAN-ALIRAN UTAMA
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Dalam filsafat, dikenal dengan beberapa aliran atau pandangan antara lain Idealisme, Realisme, Materialisme, Pragmatisme, dan lain-lain. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan, dihasilkan beberapa teori atau aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat pendidikan Barat yang berkembang antara lain: Progressivisme, Essensialisme, Perennialisme, Rekonstruktivisme, dan Eksistensialisme.
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu:
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran pemikiran pendidikan Islam tadi. Menariknya, konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai salah satu tema sentral dalam spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan “peta” aliran itu, kita dapat menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran keislaman lainnya.[1]
1.    ALIRAN KONSERVATIF (AL-MUHAFIDZ)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.[2]
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.       Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)     Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi,[3] terdiri atas:
a)      Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
b)      Ilmu furu’ (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.
c)      Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d)      Ilmu pelengkap (mutammimah).
2)     Ilmu ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim,[4] terdiri atas:
a)      Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b)      Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
c)      Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
b.      Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1)        Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
2)        Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a.    Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b.    Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c.    Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.    Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
a.    Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b.    Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.
c.    Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.
2.    ALIRAN RELIGIUS-RASIONAL (AL-DINIY AL-‘AQLANIY)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[5], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[6]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.[7] Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[8]
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
a.    Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), yaitu:
1)         Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
2)         Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
3)         Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)
4)         Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
5)         Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b.    Ilmu-ilmu Filsafat
1)         Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
2)         Mantiqiyyat (retorika-logika)
3)         Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau fisika)
4)         Teologi (ketuhanan).
c.    Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
1)         Ilmu kitabah-qira’at (baca-tulis)
2)         Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
3)         Ilmu hitung dan transaksi
4)         Ilmu syi’ir dan prosa
5)         Ilmu peramalan
6)         Ilmu tenun dan sihir
7)         Ilmu profesi
8)         Ilmu jual-beli
9)         Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a.         Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.         Potensi perasa, yaitu bias merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.         Merespons dan bereaksi.
d.         Mempersepsi dan menghafal stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e.         Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
f.           Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:
a.         Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
b.         Modal utama ilmu adalah indera.
c.         Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d.         Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
e.         Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
3.    ALIRAN PRAGMATIS (AL-DZARAI’IY)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.[9]
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir.[10] Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a.    Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b.    Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.[11]
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.    Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b.    Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan “karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai sumber otonom pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
a.         Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b.         Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
c.         Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.


[1]Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
[2]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam : Perspektif Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 74-75.
[3]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.
[4]Ibid.
[5]Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis, yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui radikal-revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
[6]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[7]Ibid., 85-86.
[8] Ibid., 87.
[9]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 99.
[10]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 125.
[11]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, 105.

2 komentar: